by;Anto Diroma
‘’Bukanlah seorang pemuda yang mengatakan ‘Ini Bapakku’,
tetapi
yang
dikatakan pemuda adalah mereka
yang mengatakan ‘Inilah
Aku’’ Perkataan
diatas seperti hendak mengugat identitas pemuda hari ini, yang perlahan mulai dipertanyakan sejauh mana
independensinya dalam menyandang gelar terhormat, sebagai agent of change atau generasi pelopor perubahan.
Pernyataan
ini juga menyiratkan akan
makna atau hakikat pemuda
sesungguhnya, dimana sikap kritis, progresif serta melakukan terobosan-terobosan demi kemajuan
bangsa
dan negara seakan telah menjadi bagian dari sosok seorang pemuda.Disadari pada dasarnya Pemuda memiliki peran
strategis sebagai avant garda
dari setiap perubahan sosial politik dan kemajuan suatu bangsa. Dengan idealisme
yang dimilikinya,
basis
intelektualitas yang visioner, dan
gerakannya
yang pro perubahan
serta anti kemapanan,
Pemuda, dalam aspek apapun, selalu diharapkan
menjadi cahaya yang menerangi kegelapan.
Begitu strategisnya peran pemuda sebagai generasi pembangun bangsa,
hingga tercetus adagium siapa yang menguasai pemuda akan
menguasai masa
depan suatu bangsa. “Alfredo Ferreira Diroma” mengatakan “Fo
mai hau jovens nain sanulu hau sei muda mundu (Beri padaku pemuda 10
Orang Akan ku Rombak Dunia).” Ungkapan tersohor dari salah
seorang
petani
dari distrik
Lautem-Timor
Leste, mengidikasikan
bahwa beliau paham akan kekuatan yang mendarah daging dalam diri para pemuda. Pemuda adalah sokoguru perubahan. berbicara Pemuda, maka berbicara tentang simbol dari semangat, idealisme,
progresif dan sosok yang
senantiasa berpikir
Kritis dan analistis untuk merombak suatu keadaan yang dapat
melemahkan masa depan ke arah yang
progres.
Hal yang sama juga diungkapkan Simon Frith, bahwa pemuda adalah salah satu
strata kelas yang memiliki suatu identitas
budaya tertentu dan merupakan satu
model manusia unik
dalam komunitas
apapun sehingga ia
terdeferensiasi (berbeda) dengan
entitas
lainnya, seperti anak
kecil, dewasa hingga orangtua. Tidak heran
dengan potensinya yang
luar biasa
ini, pemuda menduduki kans besar
serta berpeluang
menempati posisi penting dan
strategis sebagai
pelaku-pelaku pembangunan
maupun
sebagai generasi penerus masa depan negara.
Di era pra-kemerdekaan
maupun di era kemerdekaan,
pemuda selalu tampil dengan jiwa dan semangat kepeloporan, perjuangan, dan patriotismenya untuk mengusung perubahan
dan
pembaharuan . Karya-karya monumental pemuda melalui peristiwa bersejarah yang paling fenomenal
seperti
kejadian santa
cruz (1991) yang yang membidani lahirnya era reformasi, membuat mata manusia di
dunia bagi negara mudah (Timor Leste) yang baru merdeka
ini terpana menyaksikan kiprah dan peran
pemuda sebagai garda terdepan perubahan
sekaligus harapan bagi
pembangunan bangsa.
Namun kiprah pemuda sebaimana generasi
pendahulu diatas,
agaknya kini
mulai memudar. Sosok-sosok pemuda , kini sudah semakin langka adanya.
Bila
tidak ingin dikatakan sosok pemuda demikian hanya tinggal catatan yang teronggok manis di
museum-museum sejarah.
Realitas
menunjukan potensi pemuda sebagai generasi pembangun bangsa kini semakin tergerus
dikikis
Budaya apatis, pragmatis, dan hedonis.
timbul pertanyaan apakah realitas demikian
disebabkan
faktor intern pemuda sendiri yang
kurang peka terhadap
realitas sosial yang
terjadi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara atau mungkin karena faktor globalisasi tanpa diiringi filterisasi.
Ada
siklus peradaban akan
memunculkan tiga generasi, yaitu
generasi
pembangun, generasi penikmat, dan generasi yang
tidak memiliki hubungan emosional
dengan negaranya.
Pemuda,
dapat dibagi dalam
dua golongan.
Ada
pemuda tumbuh dalam
suasana bangsa yang keras dan bergejolak. Ada juga di antara pemuda lainnya yang tumbuh dalam situasi bangsa yang dingin dan tenang. Sehingga pemuda yang tumbuh dalam suasana ini aktifitasnya lebih banyak tertuju kepada dirinya sendiri daripada untuk rakyatnya.
kita telah memasuki era Demokratis setelah melewati masa transisi di tahun
2000, Setelah Timor Leste Merestaurasi kemerdekaannya
pada tanggal 20 mei 2002, telah membawa angin perubahan bagi
daerah
yang puluhan tahun
dilanda konflik ini.
Kondisi Timor Leste yang berangsur-angsur pulih telah memberi harapan baru bagi
rakyat dalam menatap masa depan
yang lebih
cerah. Akan tetapi
kondisi ini bukan
tidak mungkin dapat menjadi bumerang bagi Pemuda Timor
Leste.
Timbul kekhawatiran
jika
kondisi
damai ini tidak
disiasati dengan pembangunan
yang melibatkan
segenap elemen
dan komponen masyarakat (stakeholder), dimana kaum muda termasuk di dalamnya, dapat menimbulkan sindrom sebagaimana teori-teori diatas,
memunculkan generasi
penikmat yang sekedar menikmati
buah
perdamaian,
tanpa berupaya menyemai
kondisi perdamaian
dengan pembangunan berkelanjutan. Apabila dibiarkan, bukan tidak mungkin
kelak akan
lahir generasi muda yang tidak memiliki hubungan
emosional dengan bangsanya,
disebabkan generasi Pemuda Timor Leste hari
ini
yang tidak merasakan betapa lelahnya perjuangan untuk meraih
buah
perdamaian.
ketika melihat realitas kekinian pemuda khususnya pemuda di daerah ini terlibat dalam proses pembangunan,
pemuda hari ini justru menjadi momok bagi
pembangunan. Disamping hal demikian terlihat dari angka penganguran yang kian tahun semakin meningkat, Sebagian
besar
diantaranya justru
disibukan dengan
aktivitas-aktivitas tidak produktif seperti bermain poker
semalam suntuk,
bercengkerama
sesukanya dengan
lawan
jenis ataupun
berleha-leha
di warung kopi. Menjadi ironi ketika potensi pemuda sebagai katalisator pembangunan daerah justru tersiakan di bawah
kolong meja warung
kopi, lapak judi, ataupun
dalam semak
belukar
di keremangan malam hari.
Tidak berlebihan
apabila dikatakan
relevansi
pemuda dalam pembangunan Timor Leste pasca
perdamaian perlahan mulai
berkurang,
untuk tidak dikatakan tidak ada lagi peran signifikan yang dilakukan
pemuda Timor Leste hari ini.
Disamping faktor
internal dari pemuda seperti budaya apatisme dan pragmatisme
yang kian
akut, hal demikian juga
diperparah oleh faktor eksternal
seperti
masih
adanya
pihak-pihak
yang kerap memanfaatkan
pemuda sebagai agen-
agen bagi kepentingan individu dan golongan. Sebagian pemuda terjebak dengan aktivitas-aktivitas yang disangka produktif, namun sebenarnya aktivitas yang
dilakukan justru merupakan bagian dari agenda politik pihak-pihak yang hendak
mengontrol pemuda dalam rangka
memuluskan agenda politiknya. Bisa jadi ini disebabkan ekses dari proses pendidikan yang tidak mengutamakan nalar berpikir
kritis ditambah dengan lingkungan yang juga apatis non permisif, menjadikan pemuda
tidak sadar bila mereka kerap
menjadi boneka dari pihak-pihak tertentu.
Hal demikian dapat dilihat dari kenyataan bahwa selama ini pemuda hanya
sekedar menjadi agen perubahan,
namun
tidak pelaku untuk mengisi
perubahan itu sendiri.
Pemuda hanya dibutuhkan ketika adanya momentum tertentu. ketika
momentum usai, fungsi dan peran pemuda mulai hilang,
berikutnya peran pemuda
sebagai polopor
sekaligus konseptor justru diisi oleh stakeholder/komponen
masyarakat lainnya. Pemuda hanya “kuat” ketika mendobrak,
namun “lemah” begitu gerbang
terbuka. Pemuda hanya berperan pengantar pihak lain ke gerbang perubahan, ketika
gerbang terbuka, yang masuk
bukanlah
pemuda,
melainkan
orang lain yang
semula
duduk
santai menyaksikan lelahnya perjuangan pemuda dalam mendobrak gerbang
perubahan. Tentunya hal demikian amat menyedihkan.
Disamping itu pemerintah daerah yang mampu mengikutsertakan
pemuda agar
terlibat serta dalam proses pembangunan daerah pada kenyataanya masih memandang sebelah mata terkait peranan strategis pemuda sebagai iniasiator
dan konseptor pembangunan bangsa. Adanya sesat pikir,
bahwa yang dinamakan dengan
partisipasi
pemuda dalam pembangunan daerah ialah
mendukung pemuda
secara finansial dalam rangka
mensukseskan
aktivitas-aktivitas seremonial dalam lingkup
komunal, tanpa adanya parameter yang
jelas untuk menilai sejauhmana urgensi
aktivitas kepemudaan
tersebut bagi kemajuan pembangunan daerah.
Masih
kuatnya
persepsi
bahwa pemuda
identik dengan aktivitas seremonial macam olahraga,
bakti
sosial, ritual rutin keagamaan dan kegiatan sejenis yang pada intinya sekedar
agar
pemuda tidak menganggur di jalan raya/di warung kopi, mengindikasikan pemerintah daerah, dalam hal ini
pemerintah dalam lingkup Desa
Kecamatan
dan kabupaten
dan termasuk di Ibu Kota (Dili) , tidak peka dan sensitif
terhadap peranan pemuda yang
sangat potensial sebagai konseptor pembangunan daerah.
Sudah saatnya Pemuda tidak lagi dianggap sebagai “pelengkap penderita”
dalam suatu komponen bangsa, atau sekedar berfungsi sebagai agen-agen jalanan
dalam rangka memuluskan agenda kepentingan pihak tertentu. Oleh karena itu, tidak
bisa tidak, dalam hal ini diperlukan langkah strategis sekaligus solusi komprehensif
dalam mengatasi mispersepsi terkait
peran pemuda sebagai pelopor dan konseptor
pembangunan suatu bangsa. Diperlukan revitalisasi peran pemuda dalam rangka
pembangunanTimor Leste di era perdamaian.
REVITALISASI
PERAN PEMUDA MELALUI
PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN TIMOR LETE PASCA KONFLIK
Partisipasi dapat diartikan sebagai ikut serta,
berperan serta dalam suatu
kegiatan, mulai
dari perencanaan sampai
evaluasi. Partisipasi
masyarakat dalam
proses pembuatan peraturan daerah maupun merumuskan kebijakan
dapat
dikategorikan sebagai partisipasi politik. Oleh Huntighon
dan
Nelson partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan
warga negara
sipil (private
citizen) yang bertujuan
mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah. Maka
Saya (A.X.F.M) dapat
merumuskan
partisipasi
masyarakat sebagai suatu
proses
melalui
mana stakeholder mempengaruhi dan
ikut berbagi
(share)
kontrol atas/terhadap prakarsa
dan keputusan serta sumber daya pembangunan yang mempengaruhi mereka.
Partisipasi tidak cukup
hanya
dilakukan
segelintir orang
yang duduk dalam
lembaga
perwakilan karena
institusi dan orang-orang yang duduk dalam lembaga
perwakilan seringkali
menggunakan
politik atas nama kepentingan
rakyat untuk memperjuangkan
kepentingan pribadi atau kelompok
mereka sendiri.
Dalam konteks kepemudaan,
partisipasi politik tidak hanya
sekedar berpartisipasi di jalanan dengan melakukan aksi demonstasi.
Harus disadari, Demonstrasi yang selama ini menjadi senjata andalan pemuda, hanya sekedar
mempengaruhi kebijakan.
Apalagi
bila
yang menjadi target demonstrasi kebetulan
penguasa tiran
yang memerintah dengan
tangan
besi. Sudah
pasti
demostrasi
tidak mampu
berbuat banyak untuk merubah
keadaan.
Partisipasi
politik di jalanan ialah
partisipasi politik paling primitif bila ditinjau dari sosok intelektual
seorang pemuda.
Kecuali seluruh elemen kepemudaan
bersatu, maka mungkin saja perubahan
Perubahan konflik untuk menjadi
perdamaian akan
tertuju
di Nega Kita yang masih mudah
ini. Akan
tetapi jelas hal demikian bukan perkara gampang. karena
dibutuhkan sebuah
momentum yang amat besar untuk mengkonsolidasikan
setiap elemen dan
sumber
daya pemuda. Bila duduk menunggu momentum, peran
pemuda terancam semakin “mandul”.
Partispasi politik pemuda sejatinya adanya keterlibatan aktif
pemuda dalam
merumuskan
dan memutuskan kebijakan menyangkut Kondisi hidup rakyat yang masih
dalam krisis kemiskinan. Diperlukan upaya aktif
dari beragam stakeholder, terutama
pemerintah
dalam hal ini, untuk menempatkan
pemuda sebagai
komponen
utama
dalam merumuskan setiap kebijakan dalam pembangunan Timor
Leste pasca konflik.
Kebijakan
yang dirumuskan
tidak hanya
terkait dengan
urusan
kepemudaan. Akan tetapi juga pelibatan aktif pemuda dalam setiap perumusan dan pemutusan kebijakan strategis terkait pembangunan daerah . Partisipasi pemuda sebagai salah satu
komponen penting
dalam masyarakat,
setidaknya akan
membawa tiga
dampak penting,
yakni : Pertama, terhindar dari peluang terjadinya manipulasi
keterlibatan rakyat dan memperjelas apa yang dikehendaki masyarakat; Kedua, memberi
nilai
tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah mereka yang terlibat semakin baik dan yang ketiga; meningkatkan
kesadaran dan keterampilan politik masyarakat,
terutama elemen pemuda sebagai generasi masa depan negara.
Akan tetapi patut diwaspadai oleh pemuda akan adanya partisipasi semu,
yaitu negara
seolah melakukan “pembinaan” terhadap kelompok-kelompok pemuda untuk
seolah berpartisipasi
padahal sejatinya
yang terjadi adalah kooptasi dan
regresi
penguasa. Salah
satu
ciri khas
partisipasi
semu menurut Sherry Arnstein
dalam A Ladder Of Citizen
Participation ialah terjadinya Peredaman (placation), Konsultasi
(Consultation) dan
Informasi (informing) pada rakyat. Di level peredaman (placation)
rakyat, dalam hal ini pemuda, sudah memiliki pengaruh terhadap kebijakan.
Tetapi
bila akhirnya terjadi voting pengambilan keputusan akan
tampak sejatinya keputusan
ada di tangan lembaga negara, sedangkan kontrol dari rakyat tidak amat sangat menentukan. Di level konsultasi (Consultation)
rakyat didengar pendapatnya lalu disimpulkan, lembaga
negara merasa sudah memenuhi kewajiban sebab rakyat dianggap berpartisipasi telah terlibat dalam proses
perumusan dan
perancangan
peraturan perundang-undangan.
Padahal Peran
rakyat hanya sebatas
didengar
pendapatnya. Sementara di level Informasi (informing) rakyat sekedar diberi tahu
akan adanya peraturan perundang-undangan, tidak peduli apakah rakyat memahami
pemberitahuan
itu
apalagi
memberikan
pilihan guna melakukan negoisasi
atas kebijakan itu.
Partisipasi pemuda idealnya ialah berada
dalam level tertinggi partisipasi
rakyat, yaitu
kontrol warga negara (citizen
control)
dimana pada tahap ini partisipasi
sudah mencapai tataran dimana publik
berwenang memutuskan, melaksanakan dan
mengawasi pengelolaan sumber daya. Turun ke level kedua ialah delegasi kewenangan (delegated Power)
disini kewenangan masyarakat lebih
besar dari penyelenggara
negara dalam merumuskan kebijakan. Ketiga,
Kemitraan (Partnership), ada
keseimbangan kekuatan relatif
antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk
merencanakan dan mengambil
keputusan bersama-sama.
Tiga level sebagaimana
skema
tingkat partisipasi
masyarakat menurut Sherry Arnstein
inilah yang mengakui eksistensi rakyat untuk merancang
dan
merumuskan kebijakan.
pemerintahan Timor Leste, kiranya memberi ruang keterlibatan publik yang
cukup besar dalam
proses
pembangunan. terutama bagi
kaum muda,
lahirnya serangkaian peraturan perundangan
ini
menjadi
legitimasi keterlibatan pemuda
sebagai salah satu
komponen
bangsa
dalam proses
pengelolaan
pemerintahan. Terkait permasalahan intern pemuda yang kini terkesan apatis dan individualis, sudah
saatnya dilakukan rekonstruksi paradigma berupa perubahan pola pikir dari pola pikir
pragmatis menuju pola berpikir kritis dan progresif. Pemuda pada dasarnya memiliki peran
penting dalam
proses pencerahan dalam
rangka
pencerdasan masyarakat.
Karenanya, tidak bisa tidak Karena Pemuda Timor Leste harus meningkatkan dirinya
dengan merevitalisasi peran sebagai bagian dari warga global. Selain meningkatkan
kualitas komunikasi dengan
publik internasional, juga paham
akan
problematika
global serta efek bagi kepentingan negara kita Timor Leste. Dialog yang konstruktif, tajam dan terarah perlu digalakan untuk menyatukan cara pandang pemuda terkait pembangunan masa depan
Timor Leste. Terlebih pasca konflik, dimana untuk mengisi perdamaian mutlak dibutuhkan sumbangsih pemikiran dari kaum muda bagi kemajuan Timor Leste ke Arah yang lebih baik.
Revitalisasi peran pemuda secara internal berupa perubahan paradigma, diikuti
dengan revitalisasi peran secara eksternal dari pihak pemangku kebijakan melalui pelibatan partisipasi pemuda dalam
setiap
perumusan kebijakan strategis, maka
dengan Berkat Allah
akan melahirkan calon-calon pemimpin, masa depan Timor
Leste
yang mampu mengisi ruang perdamaian dengan pembangunan negara kita
berkelanjutan.
Semoga Kemrdekaan Negara kita di isi dengan Perdamaian dan Perubahan dalam hal
Pembangunan Nasional Secara Merata Bagi Masyarakat
Timor Leste!
Dili, 04/02/2013
Di
susun Oleh:
Anto Diroma
Dari:
Organisasi Kumpulan Pembangunan
Pertanian Timor Leste
“Org. Klibur Dezenvolvimentu Agricultura Timor Leste”
(KDA-TL)
Rua Bairo Pite
Dili Timor
Leste
No. Hp: +670 7780 1351
================================ooo0ooo===========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar