Oleh: Santana Martins, +670778666666
Pendahuluan
Dalam budaya Kemak, keluarga tidak dipahami sekadar sebagai
kumpulan individu yang hidup bersama, melainkan sebagai satu kesatuan sosial
yang diikat oleh nilai, norma, dan struktur adat yang diwariskan lintas
generasi. Struktur ini mengatur peran dan tanggung jawab setiap anggota
keluarga secara jelas, termasuk relasi antara laki-laki dan perempuan, serta
mekanisme pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Salah satu peran penting
dalam struktur tersebut adalah posisi saudara lelaki sedarah, yang secara adat
ditempatkan sebagai figur pemegang keputusan dalam keluarga.
Pemaknaan terhadap peran saudara lelaki sedarah tidak dapat
dilepaskan dari sistem patriarkal yang hidup dalam masyarakat Kemak. Namun,
patriarki dalam konteks adat tidak semata-mata dipahami sebagai dominasi,
melainkan sebagai sistem tanggung jawab sosial yang menempatkan kewenangan pada
pihak tertentu dengan beban moral yang besar. Tulisan ini bertujuan untuk
memaknai peran saudara lelaki sedarah secara reflektif dengan mengintegrasikan
perspektif antropologis, psikologis, dan kesehatan masyarakat, sehingga adat
dapat dipahami secara lebih utuh dan kontekstual.
Perspektif Antropologis: Saudara Lelaki dalam Struktur
Adat Kemak
Kajian antropologis tentang masyarakat Timor dan kawasan
Indonesia Timur menunjukkan bahwa struktur keluarga adat umumnya bersifat
patriarkal, dengan otoritas keluarga dilekatkan pada figur laki-laki dalam
garis kekerabatan. Dalam konteks Kemak, saudara lelaki sedarah ditempatkan
sebagai pemegang keputusan dalam rumah tangga, terutama dalam hal-hal penting
yang berkaitan dengan kehormatan, arah hidup, dan nama baik keluarga.
Penempatan saudara lelaki sedarah pada posisi tersebut
bukanlah bentuk keistimewaan biologis, melainkan konsekuensi dari sistem
tanggung jawab adat yang diwariskan lintas generasi. Saudara lelaki berdiri
sebagai penyokong Ayahanda, bukan sebagai pengganti atau pesaing. Ayahanda
tetap dipahami sebagai kepala rumah tangga dan simbol otoritas utama, sementara
saudara lelaki berfungsi sebagai penopang yang memastikan keputusan, nilai, dan
kehormatan keluarga dijaga secara konsisten. Dengan demikian, otoritas dalam
keluarga bersifat kolektif di antara laki-laki sedarah.
Karena peran itulah, saudara lelaki diberi kewenangan untuk
terlibat dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan yang menyangkut
saudari-saudarinya. Keputusan tersebut dapat mencakup persoalan pendidikan,
relasi sosial, perkawinan, mobilitas, maupun pilihan hidup lain yang dinilai
berdampak pada martabat keluarga. Dalam perspektif adat, keputusan semacam ini
tidak dipandang sebagai urusan pribadi semata, melainkan sebagai urusan
kolektif yang konsekuensinya ditanggung bersama oleh keluarga.
Penting untuk ditegaskan bahwa struktur ini tidak dibangun
atas anggapan bahwa perempuan lemah atau tidak mampu berpikir. Kajian
etnografis menunjukkan bahwa perempuan Kemak memiliki peran sosial dan ritual
yang signifikan, serta menjadi penjaga nilai dan keharmonisan rumah tangga.
Namun, adat menempatkan perempuan dalam kerangka kolektif keluarga yang
membatasi ruang pengambilan keputusan tertentu demi menjaga keteraturan sosial
menurut nilai yang diwariskan.
Saudara Lelaki sebagai Amanah, Bukan Kuasa Tanpa Batas
Kewenangan saudara lelaki sedarah bukanlah kuasa tanpa
batas. Ia merupakan amanah adat yang berat dan sarat tanggung jawab moral.
Setiap keputusan yang diambil membawa konsekuensi sosial yang luas, mencakup
martabat saudari, orang tua, serta seluruh garis keturunan. Dalam masyarakat
adat, satu keputusan yang keliru dapat berdampak panjang, menimbulkan konflik
antarkeluarga, merusak relasi sosial, bahkan mencederai kehormatan keluarga di
mata komunitas.
Oleh karena itu, peran saudara lelaki menuntut kedewasaan,
kebijaksanaan, dan kemampuan menahan diri. Kewenangan adat tidak boleh
dijalankan secara sewenang-wenang, apalagi digunakan untuk menekan atau
membungkam. Ketika kewenangan dijalankan tanpa tanggung jawab, adat kehilangan
makna sosialnya dan berubah menjadi sumber luka bagi anggota keluarga,
khususnya perempuan.
Sebaliknya, saudara lelaki yang menjalankan perannya secara
adil dan bijaksana akan menjadi sumber perlindungan dan stabilitas bagi
keluarga. Dalam kondisi demikian, saudari-saudarinya tidak merasa dikontrol,
melainkan dilindungi. Penghormatan yang lahir bukan karena takut, tetapi karena
adanya kepercayaan dan pemahaman terhadap peran adat yang dijalankan.
Perspektif Psikologis: Dampak Relasi Saudara
Lelaki–Saudari
Dari sudut pandang psikologi keluarga, struktur peran yang
jelas dan konsisten dapat berfungsi sebagai faktor protektif bagi kesehatan
mental anggota keluarga. Teori sistem keluarga menjelaskan bahwa individu
cenderung berfungsi lebih sehat ketika batas peran, otoritas, dan tanggung
jawab dalam keluarga dipahami secara kolektif dan tidak ambigu. Dalam konteks
ini, saudara lelaki yang menjalankan perannya dengan empati dan komunikasi yang
baik dapat menjadi figur stabilisasi emosional bagi saudari-saudarinya.
Namun, psikologi juga menegaskan bahwa kewenangan yang
dijalankan secara kaku, otoriter, dan tanpa ruang dialog berpotensi menimbulkan
tekanan psikologis. Perempuan dapat mengalami perasaan tidak berdaya,
kecemasan, konflik batin, bahkan trauma relasional apabila keputusan diambil
tanpa mempertimbangkan kondisi emosional dan aspirasi mereka. Oleh karena itu,
pelaksanaan kewenangan adat menuntut kecerdasan emosional dan kesadaran akan
dampak psikologis dari setiap keputusan.
Relasi yang sehat antara saudara lelaki dan
saudari-saudarinya berkontribusi pada pembentukan harga diri, rasa aman, dan
kepercayaan diri perempuan. Ketika saudari merasa dihargai, didengar, dan
dilindungi, struktur adat justru berfungsi sebagai sumber kekuatan psikososial,
bukan sebagai sumber tekanan.
Perspektif Kesehatan Masyarakat: Keluarga sebagai
Determinan Kesehatan
Dalam pendekatan kesehatan masyarakat, keluarga dipandang
sebagai unit dasar yang sangat menentukan kesehatan individu dan komunitas.
Relasi keluarga yang harmonis, stabil, dan saling menghargai berkontribusi
langsung pada pencegahan konflik domestik, penurunan stres kronis, serta
penguatan kesejahteraan mental. Dengan demikian, struktur keluarga dan relasi
kuasa di dalamnya dapat dipahami sebagai bagian dari determinan sosial
kesehatan.
Peran saudara lelaki sedarah dalam budaya Kemak dapat
berfungsi sebagai faktor protektif apabila kewenangan tersebut digunakan untuk
memastikan perlindungan, dukungan sosial, serta pengambilan keputusan yang
mempertimbangkan kesejahteraan saudari-saudarinya. Dalam situasi ini, adat
berfungsi sebagai mekanisme promosi dan pencegahan kesehatan. Sebaliknya,
penyalahgunaan kuasa berpotensi meningkatkan kerentanan sosial dan kesehatan
perempuan, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan keluarga dan komunitas secara
luas.
Oleh karena itu, penguatan peran saudara lelaki yang
bijaksana sejalan dengan prinsip promotif dan preventif dalam kesehatan
masyarakat. Keluarga yang dikelola dengan tanggung jawab dan penghormatan
timbal balik akan menjadi fondasi bagi masyarakat yang sehat secara sosial dan
mental.
Pembinaan dan Pemaknaan Ulang Relasi Keluarga
Pembinaan adat perlu diarahkan secara dua arah. Di satu
sisi, saudara lelaki perlu dibina untuk menyadari bahwa kewenangan adat yang ia
pegang merupakan tanggung jawab moral dan sosial yang besar, bukan hak untuk
mengontrol. Di sisi lain, saudari-saudarinya perlu dibina untuk memahami makna
struktural dari peran saudara lelaki sedarah, sehingga penghormatan yang
diberikan bersumber dari pemahaman, bukan keterpaksaan.
Menghargai saudara lelaki sedarah tidak berarti meniadakan
suara perempuan atau menutup ruang dialog. Sebaliknya, penghargaan tersebut
dimaknai sebagai pengakuan terhadap sistem tanggung jawab kolektif yang
bertujuan menjaga keseimbangan keluarga, stabilitas emosional, dan keharmonisan
sosial. Relasi yang dibangun atas dasar saling percaya memungkinkan adat
berfungsi secara adaptif di tengah perubahan sosial.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran
saudara lelaki sedarah dalam keluarga Kemak bukanlah sekadar simbol kuasa
patriarkal, melainkan amanah adat yang berakar pada tanggung jawab sosial
sebagai penyokong Ayahanda dan penjaga kehormatan keluarga. Kewenangan tersebut
menuntut kebijaksanaan, keadilan, dan integritas agar berfungsi sebagai
perlindungan, bukan penindasan. Pada saat yang sama, penghargaan dari
saudari-saudarinya terhadap peran saudara lelaki merupakan elemen penting dalam
membangun relasi keluarga yang harmonis dan saling percaya. Dengan pemaknaan
yang seimbang antara kewenangan dan tanggung jawab, adat Kemak dapat berfungsi
sebagai sistem pembinaan nilai, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan sosial
lintas generasi.
Catatan Metodologis
Tulisan ini merupakan refleksi normatif yang disusun
berdasarkan sintesis kajian antropologis, psikologis, dan kesehatan masyarakat.
Analisis ini tidak dimaksudkan sebagai deskripsi etnografis murni, melainkan
sebagai upaya memperkaya pemahaman adat dalam konteks pembinaan keluarga,
relasi kekerabatan, dan kesejahteraan sosial.
Daftar Pustaka
Fox, J. J. (1980). The Flow of Life: Essays on Eastern
Indonesia. Harvard University Press.
Fox, J. J. (1997). Place and Landscape in Comparative Austronesian
Perspective. ANU Press.
McWilliam, A. (2002). Paths of Origin, Gates of Life: A Study of Place and
Precedence in Southwest Timor. KITLV Press.
Hicks, D. (2004). Tetum Ghosts and Kin: Fertility and Gender in East Timor.
Waveland Press.
Traube, E. G. (1986). Cosmology and Social Life: Ritual Exchange among the
Mambai of East Timor. University of Chicago Press.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
Connell, R. W. (2005). Masculinities. University of California Press.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar