Jumat, November 28, 2025

Memaknai Peran Saudara Lelaki Sedarah dalam Keluarga Kemak

 




Oleh: Santana Martins, +670778666666

Pendahuluan

Dalam budaya Kemak, keluarga tidak dipahami sekadar sebagai kumpulan individu yang hidup bersama, melainkan sebagai satu kesatuan sosial yang diikat oleh nilai, norma, dan struktur adat yang diwariskan lintas generasi. Struktur ini mengatur peran dan tanggung jawab setiap anggota keluarga secara jelas, termasuk relasi antara laki-laki dan perempuan, serta mekanisme pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Salah satu peran penting dalam struktur tersebut adalah posisi saudara lelaki sedarah, yang secara adat ditempatkan sebagai figur pemegang keputusan dalam keluarga.

Pemaknaan terhadap peran saudara lelaki sedarah tidak dapat dilepaskan dari sistem patriarkal yang hidup dalam masyarakat Kemak. Namun, patriarki dalam konteks adat tidak semata-mata dipahami sebagai dominasi, melainkan sebagai sistem tanggung jawab sosial yang menempatkan kewenangan pada pihak tertentu dengan beban moral yang besar. Tulisan ini bertujuan untuk memaknai peran saudara lelaki sedarah secara reflektif dengan mengintegrasikan perspektif antropologis, psikologis, dan kesehatan masyarakat, sehingga adat dapat dipahami secara lebih utuh dan kontekstual.

Perspektif Antropologis: Saudara Lelaki dalam Struktur Adat Kemak

Kajian antropologis tentang masyarakat Timor dan kawasan Indonesia Timur menunjukkan bahwa struktur keluarga adat umumnya bersifat patriarkal, dengan otoritas keluarga dilekatkan pada figur laki-laki dalam garis kekerabatan. Dalam konteks Kemak, saudara lelaki sedarah ditempatkan sebagai pemegang keputusan dalam rumah tangga, terutama dalam hal-hal penting yang berkaitan dengan kehormatan, arah hidup, dan nama baik keluarga.

Penempatan saudara lelaki sedarah pada posisi tersebut bukanlah bentuk keistimewaan biologis, melainkan konsekuensi dari sistem tanggung jawab adat yang diwariskan lintas generasi. Saudara lelaki berdiri sebagai penyokong Ayahanda, bukan sebagai pengganti atau pesaing. Ayahanda tetap dipahami sebagai kepala rumah tangga dan simbol otoritas utama, sementara saudara lelaki berfungsi sebagai penopang yang memastikan keputusan, nilai, dan kehormatan keluarga dijaga secara konsisten. Dengan demikian, otoritas dalam keluarga bersifat kolektif di antara laki-laki sedarah.

Karena peran itulah, saudara lelaki diberi kewenangan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan yang menyangkut saudari-saudarinya. Keputusan tersebut dapat mencakup persoalan pendidikan, relasi sosial, perkawinan, mobilitas, maupun pilihan hidup lain yang dinilai berdampak pada martabat keluarga. Dalam perspektif adat, keputusan semacam ini tidak dipandang sebagai urusan pribadi semata, melainkan sebagai urusan kolektif yang konsekuensinya ditanggung bersama oleh keluarga.

Penting untuk ditegaskan bahwa struktur ini tidak dibangun atas anggapan bahwa perempuan lemah atau tidak mampu berpikir. Kajian etnografis menunjukkan bahwa perempuan Kemak memiliki peran sosial dan ritual yang signifikan, serta menjadi penjaga nilai dan keharmonisan rumah tangga. Namun, adat menempatkan perempuan dalam kerangka kolektif keluarga yang membatasi ruang pengambilan keputusan tertentu demi menjaga keteraturan sosial menurut nilai yang diwariskan.

Saudara Lelaki sebagai Amanah, Bukan Kuasa Tanpa Batas

Kewenangan saudara lelaki sedarah bukanlah kuasa tanpa batas. Ia merupakan amanah adat yang berat dan sarat tanggung jawab moral. Setiap keputusan yang diambil membawa konsekuensi sosial yang luas, mencakup martabat saudari, orang tua, serta seluruh garis keturunan. Dalam masyarakat adat, satu keputusan yang keliru dapat berdampak panjang, menimbulkan konflik antarkeluarga, merusak relasi sosial, bahkan mencederai kehormatan keluarga di mata komunitas.

Oleh karena itu, peran saudara lelaki menuntut kedewasaan, kebijaksanaan, dan kemampuan menahan diri. Kewenangan adat tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang, apalagi digunakan untuk menekan atau membungkam. Ketika kewenangan dijalankan tanpa tanggung jawab, adat kehilangan makna sosialnya dan berubah menjadi sumber luka bagi anggota keluarga, khususnya perempuan.

Sebaliknya, saudara lelaki yang menjalankan perannya secara adil dan bijaksana akan menjadi sumber perlindungan dan stabilitas bagi keluarga. Dalam kondisi demikian, saudari-saudarinya tidak merasa dikontrol, melainkan dilindungi. Penghormatan yang lahir bukan karena takut, tetapi karena adanya kepercayaan dan pemahaman terhadap peran adat yang dijalankan.

Perspektif Psikologis: Dampak Relasi Saudara Lelaki–Saudari

Dari sudut pandang psikologi keluarga, struktur peran yang jelas dan konsisten dapat berfungsi sebagai faktor protektif bagi kesehatan mental anggota keluarga. Teori sistem keluarga menjelaskan bahwa individu cenderung berfungsi lebih sehat ketika batas peran, otoritas, dan tanggung jawab dalam keluarga dipahami secara kolektif dan tidak ambigu. Dalam konteks ini, saudara lelaki yang menjalankan perannya dengan empati dan komunikasi yang baik dapat menjadi figur stabilisasi emosional bagi saudari-saudarinya.

Namun, psikologi juga menegaskan bahwa kewenangan yang dijalankan secara kaku, otoriter, dan tanpa ruang dialog berpotensi menimbulkan tekanan psikologis. Perempuan dapat mengalami perasaan tidak berdaya, kecemasan, konflik batin, bahkan trauma relasional apabila keputusan diambil tanpa mempertimbangkan kondisi emosional dan aspirasi mereka. Oleh karena itu, pelaksanaan kewenangan adat menuntut kecerdasan emosional dan kesadaran akan dampak psikologis dari setiap keputusan.

Relasi yang sehat antara saudara lelaki dan saudari-saudarinya berkontribusi pada pembentukan harga diri, rasa aman, dan kepercayaan diri perempuan. Ketika saudari merasa dihargai, didengar, dan dilindungi, struktur adat justru berfungsi sebagai sumber kekuatan psikososial, bukan sebagai sumber tekanan.

Perspektif Kesehatan Masyarakat: Keluarga sebagai Determinan Kesehatan

Dalam pendekatan kesehatan masyarakat, keluarga dipandang sebagai unit dasar yang sangat menentukan kesehatan individu dan komunitas. Relasi keluarga yang harmonis, stabil, dan saling menghargai berkontribusi langsung pada pencegahan konflik domestik, penurunan stres kronis, serta penguatan kesejahteraan mental. Dengan demikian, struktur keluarga dan relasi kuasa di dalamnya dapat dipahami sebagai bagian dari determinan sosial kesehatan.

Peran saudara lelaki sedarah dalam budaya Kemak dapat berfungsi sebagai faktor protektif apabila kewenangan tersebut digunakan untuk memastikan perlindungan, dukungan sosial, serta pengambilan keputusan yang mempertimbangkan kesejahteraan saudari-saudarinya. Dalam situasi ini, adat berfungsi sebagai mekanisme promosi dan pencegahan kesehatan. Sebaliknya, penyalahgunaan kuasa berpotensi meningkatkan kerentanan sosial dan kesehatan perempuan, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan keluarga dan komunitas secara luas.

Oleh karena itu, penguatan peran saudara lelaki yang bijaksana sejalan dengan prinsip promotif dan preventif dalam kesehatan masyarakat. Keluarga yang dikelola dengan tanggung jawab dan penghormatan timbal balik akan menjadi fondasi bagi masyarakat yang sehat secara sosial dan mental.

Pembinaan dan Pemaknaan Ulang Relasi Keluarga

Pembinaan adat perlu diarahkan secara dua arah. Di satu sisi, saudara lelaki perlu dibina untuk menyadari bahwa kewenangan adat yang ia pegang merupakan tanggung jawab moral dan sosial yang besar, bukan hak untuk mengontrol. Di sisi lain, saudari-saudarinya perlu dibina untuk memahami makna struktural dari peran saudara lelaki sedarah, sehingga penghormatan yang diberikan bersumber dari pemahaman, bukan keterpaksaan.

Menghargai saudara lelaki sedarah tidak berarti meniadakan suara perempuan atau menutup ruang dialog. Sebaliknya, penghargaan tersebut dimaknai sebagai pengakuan terhadap sistem tanggung jawab kolektif yang bertujuan menjaga keseimbangan keluarga, stabilitas emosional, dan keharmonisan sosial. Relasi yang dibangun atas dasar saling percaya memungkinkan adat berfungsi secara adaptif di tengah perubahan sosial.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran saudara lelaki sedarah dalam keluarga Kemak bukanlah sekadar simbol kuasa patriarkal, melainkan amanah adat yang berakar pada tanggung jawab sosial sebagai penyokong Ayahanda dan penjaga kehormatan keluarga. Kewenangan tersebut menuntut kebijaksanaan, keadilan, dan integritas agar berfungsi sebagai perlindungan, bukan penindasan. Pada saat yang sama, penghargaan dari saudari-saudarinya terhadap peran saudara lelaki merupakan elemen penting dalam membangun relasi keluarga yang harmonis dan saling percaya. Dengan pemaknaan yang seimbang antara kewenangan dan tanggung jawab, adat Kemak dapat berfungsi sebagai sistem pembinaan nilai, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan sosial lintas generasi.

Catatan Metodologis

Tulisan ini merupakan refleksi normatif yang disusun berdasarkan sintesis kajian antropologis, psikologis, dan kesehatan masyarakat. Analisis ini tidak dimaksudkan sebagai deskripsi etnografis murni, melainkan sebagai upaya memperkaya pemahaman adat dalam konteks pembinaan keluarga, relasi kekerabatan, dan kesejahteraan sosial.

Daftar Pustaka

Fox, J. J. (1980). The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia. Harvard University Press.
Fox, J. J. (1997). Place and Landscape in Comparative Austronesian Perspective. ANU Press.
McWilliam, A. (2002). Paths of Origin, Gates of Life: A Study of Place and Precedence in Southwest Timor. KITLV Press.
Hicks, D. (2004). Tetum Ghosts and Kin: Fertility and Gender in East Timor. Waveland Press.
Traube, E. G. (1986). Cosmology and Social Life: Ritual Exchange among the Mambai of East Timor. University of Chicago Press.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
Connell, R. W. (2005). Masculinities. University of California Press.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.