Women, the Light of the World
By Martins.S.
Happy International Women's Day! ✨💜
By Martins.S.
Happy International Women's Day! ✨💜
by Martins.S
Beberapa abad yang lalu, di sebuah dusun kecil bernama Blar,
di Desa Maior, hiduplah seorang gadis bernama Lurinha. Ia seperti embun pagi
yang menyejukkan dedaunan, selalu membawa cahaya bagi siapa pun yang mendekat.
Senyumnya tak pernah pudar, langkahnya ringan seperti angin yang membelai
ladang gandum.
Namun, hidup di Dusun Blar tak seindah dongeng para leluhur.
Orang-orang di sana percaya bahwa kebahagiaan harus dibayar dengan penderitaan.
Mereka takut jika terlalu banyak tertawa, maka kesedihan besar akan segera
datang, seperti air pasang yang menelan perahu di lautan.
Lurinha berbeda.
Ia percaya bahwa hidup adalah tarian semesta, di mana setiap manusia adalah
penari yang harus bergerak mengikuti irama waktu. Setiap pagi, saat fajar
merekah, ia menari di ladang, membiarkan mentari menyapa wajahnya, membiarkan
angin membisikkan kisah-kisah lama. Anak-anak sering mengikutinya, melompat
riang di antara ilalang. Tapi tidak semua orang di dusun menyukai kebiasaannya
itu.
Di sudut dusun,
hiduplah seorang lelaki tua bernama Velo. Wajahnya keras seperti batu karang,
matanya suram seperti langit sebelum badai. Ia pernah kehilangan keluarganya
dalam satu malam petaka, dan sejak saat itu, hatinya membeku seperti tanah di
musim dingin. Ia percaya, kegembiraan adalah awal dari malapetaka.
Suatu pagi,
ketika Lurinha menari di tengah ladang, Velo datang dengan tatapan api.
“Mengapa kau
selalu bersuka ria, Lurinha? Mengapa kau menari sementara kita semua hidup
dalam penderitaan?”
suaranya seperti guntur di langit senja.
Lurinha
menghentikan tariannya dan menatap lelaki tua itu dengan lembut. “Tuan
Velo,” katanya, “Aku sadar perjuangan ini mungkin dua arah, namun satu
tujuan. Kita semua ingin bertahan, ingin hidup dengan damai. Tapi mengapa kau
melampiaskan segala bentuk amarahmu padaku? Aku hanya seperti mentari yang
menari, membawa secercah cahaya di antara pekatnya malam.”
Velo menggeram. “Cahaya
itu tak akan bertahan, Lurinha. Malam akan selalu datang dan menelan semua
sinar yang kau bawa.”
Lurinha tersenyum
kecil. “Benar, malam akan datang. Tapi tidakkah kau tahu, tuan? Setiap malam
yang gelap selalu berakhir dengan fajar. Tak ada malam yang tak bertemu pagi.
Tak ada luka yang tak bisa sembuh. Tak ada hati yang tak bisa kembali hangat.”
Orang-orang di
dusun terdiam. Kata-kata Lurinha menggema di hati mereka, seperti lonceng yang
berdentang di ujung senja. Mereka mulai bertanya pada diri sendiri: benarkah
kita harus terus hidup dalam bayang-bayang duka?
Velo menunduk.
Hatinya yang lama terkunci, perlahan retak seperti es di tepi sungai yang mulai
mencair. Ia melihat Lurinha, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun,
ia merasa sesuatu yang telah lama hilang dari dirinya—kehangatan.
Sejak hari itu,
mentari di Dusun Blar terasa lebih terang. Bukan karena cahayanya berubah, tapi
karena hati orang-orang mulai terbuka. Lurinha tetap menari, dan
perlahan-lahan, satu per satu orang mulai mengikuti langkahnya.
Sebab, seperti
kata leluhur: “Jangan takut mencintai hidup, sebab meski badai datang,
selalu ada pelangi yang menunggu di balik awan.”
✨ Tamat ✨
By: Martins.S.